Ulas Buku: Ayah by (Andrea Hirata)

February 13, 2018


Details: Goodreads

Mulanya ketika pertama kali liat judul novel ini, kupikir ceritanya cukup serius dan bakal mengharu-biru sejak chapter-chapter awal. Nyatanya, setelah kubaca sampai bab keempat, yang ada justru aku senyum-senyum dan terpingkal sendiri membayangkan kelakuan si Sabari bin Insyafi. Gaya penyampaian ceritanya Andrea Hirata yang sederhana dan apa adanya, rasanya menyegarkan buat dibaca. Malah berasa lagi didongengin kisah polos dan lugunya Sabari si tokoh utama kita itu. Humornya lepas dan nggak berasa garing, cukup bikin kita susah nahan ketawa ketika sedang baca buku ini sendirian di gerbong kereta yang padat penumpang. Apalagi ketika baca beberapa puisi karya Sabari yang ditujukan buat gadis yang super digilainya, Marlena binti Markoni. Kocak abis!

Ketika membaca di beberapa bagian awal buku, aku masih agak susah menebak ritme ceritanya. Menerka-nerka sebenarnya si Ayah yang jadi judul utama buku ini siapa. Di bab-bab awal memang masih silih berganti menampilkan cerita beberapa tokoh berbeda, yang ternyata semakin ke belakang baru ketahuan kalau mereka-mereka ini punya kesinambungan, jalan hidup akan mempertemukan mereka dan ceritanya jadi semakin kompleks. Cara pengenalan tokoh-tokohnya begitu melekat di ingatan, karena karakter-karakternya cukup menarik, jadi pembaca nggak akan susah mengingat si ini atau si itu di tengah-tengah buku.

Jalan cerita di awal lebih berfokus pada perjuangan Sabari mencuri hatinya Marlena, bermula dari cinta monyet ketika SMA, yang ternyata terus berlanjut hingga mereka dewasa. Kisah-kisah perjuangan cintanya Sabari ini yang beneran kocak, keluguan dicampur dengan keteguhan hati, membuat Sabari sering jadi cemoohan teman-teman karibnya. Tapi Sabari tak bergeming, terlanjur cinta mampus dia dengan Marlena si gadis manis yang bahkan meliriknya pun ogah. Alur cerita mulai berubah serius ketika Sabari masuk ke usia dewasa, di mana ia dihadapkan dengan banyak kesulitan hidup, tapi semuanya harus dijalaninya dengan sabar. Sesuai dengan namanya, Sabari, yang diberikan oleh ayahnya yang dulunya guru Bahasa Indonesia, yang juga mewarisinya ilmu berpuisi. Ketika lalu bertemu dengan Zorro, barulah ia sadar untuk apa Tuhan menciptakannya. Untuk jadi Ayah. Cerita ayah anakan Sabari dan Zorro ini yang justru romantis sekali, di semua bagian buku, cerita mereka berdua ini seolah jadi magnetnya. Apalagi diselingi dengan rentetan puisi-puisi indahnya juga, romantisme yang lugu dan apa adanya sekali. Bikin ku rindu Pak Bangun di rumah.

Membaca part petualangannya Lena dan Zorro yang berkelana di pulau Sumatera juga terasa seru. Membayangkan setting waktu dan lokasi di zona-zona yang mereka lalui, tinggali, lalu tinggalkan, seperti ikut terbawa rasanya. Membayangkan proses tumbuh kembangnya Zorro, dari bayi gemas yang begitu dicintai Sabari, hingga jadi bocah yang cerdas dan tampan, yang juga pandai berpuisi seperti Sabari. Ikutan pedih juga membayangkan betapa tersiksanya Sabari yang merindukan Lena dan Zorro yang terpisah ratusan kilometer dan tak bisa dijangkaunya. Sabari, Sabari.. manusia tak elok rupa, tapi begitu polos dan baik peranginya. Dunianya begitu apa adanya. Bahagianya pun amat sederhana, semua terpusat hanya pada Marlena dan Zorro.


Menyenangkan sekali rasanya menyelesaikan buku Ayah ini sebagai pembuka di awal tahun 2018. Walaupun terlambat 3 tahun lamanya. Karena setahun belakangan baru memulai kembali rutinitas baca buku, sebelum-sebelumnya selalu terkendala ini itu, utamanya sih terkendala di sektor isi dompet ya, haha.. Tukang sewain buku di deket kosan udah lama gulung tikar juga, jadi lah hobi bacaku ikut pingsan, seperti cita-citanya Izmi untuk jadi dokter hewan. Anyway, buku ini jadi memacu semangatku lagi untuk baca buku lebih lebih banyak lagi di tahun ini. Makanya, kurasa perlu juga buat bikin goals untuk challenge diri sendiri lewat fiturnya Goodreads seperti ini. Baru 20 sih, tapi siapa tau bisa lebih juga ya kaaan.

You Might Also Like

0 comments