AMSTIRDAM Coffee & Roastery
November 24, 2017This place has elegantly stole my heart!
This is what a real coffeeshop should be like. Literally coffeeshop. Toko kopi. Tempat yang bener-bener ngejual kopi.
Pertama kali denger tempat ini dari Bangjek, udah dari lama, tapi belum juga sempat ke sini. Akhirnya kemarin ke sini karena butuh banget ngopi dan tempat tongkrongan langganan tiba-tiba lenyap, kabarnya sih tutup hingga waktu yang belum ditentukan.
Waktu pertama dateng, agak awkward karena tempatnya kecil, lumayan sempit, tapi penuh orang. And the very first thing that catch my interest was, the smell of roasted coffee that roams all over the place. Semerbak wangi kopi, penuh di ruang yang tak terlampau besar itu.
That first time, I was kinda overwhelmed. Tempatnya penuh, meski meja kursinya tak banyak, dengan tata letak yang bukan lazimnya ‘warung kopi’ yang biasa kita kunjungi. Masih celingak-celinguk berusaha mengadaptasikan diri dengan cepat, lalu duduk saja seadanya di meja berbangku dua yang masih tersisa, dengan Koko, menunggu Bangjek yang masih ‘otewe’ muncul. We ordered a very simple coffee wrote on the menu, karena masih overwhelmed jadi maunya pesan yang cepat aja yang nggak harus pake mikir-mikir. Tertulis menu 'kopi sejuk’ yang langsung menarik perhatianku sejak awal, penasaran, berhubung memang hari itu hawanya sedang panas, kebetulan sekali pingin yang adem-adem. Kupesan lah. Sementara Koko menjatuhkan pilihan pada secangkir Cappuccino panas.
Menunggu kopi pesanan selesai dibuat, kita berdua mengisi waktu dengan bermain kamera, seperti biasa. Hitung-hitung sambil mencoba mengenal tempat itu. Kali itu aku yang bermain, Koko sedang tidak mood, kebetulan aku pun penasaran pingin punya satu karya gambar bergerak. Kamera kumainkan, mondar-mandir dengan canggung ke seantero ruangan, mencari celah-celah demi mendapatkan gambar paling oke. Lama-lama tertarik dengan mas-mas barista yang terlihat seru dengan mesin-mesin kopinya. Kuikuti geraknya dan kurekam.
Agak lama kopi akhirnya datang, aku kembali ke bangku dengan terheran-heran karena mendapat kopi yang beda dari bayangan. Kupikir karena namanya kopi sejuk, bakalan 'kopi dikasih es’ yang datang. Tapi rupanya yang mendarat di meja adalah segelas besar susu yang dicemplungin es batu lalu disiram one shot espresso . Menarik. And surprisingly tasty! Asli enak! Es kopi susu terenak yang pernah kusesap. Sempat mengicip cappuccino-nya Koko, dan rasanya smooth sekali!
Tak berapa lama, meja bar di sebelah mesin kopi akhirnya sepi. Koko minta pindah, supaya bisa ngobrol dengan mas-mas barista, sementara aku makin asik sendiri kutak-kutik kamera, ambil gambar ini itu yang entah estetikanya di mana, tak kupedulikan lagi. Bangjek pun muncul, lalu memesan kopi filter, entah biji kopi apa namanya aku tak ingat. Baristanya terlihat lihai dan paham betul apa yang dikerjakannya, sesuai titelnya: penyeduh kopi. Tak seperti di cafe-cafe dan warung kopi yang biasa kujajaki, dari tempatku duduk kuperhatikan semua caranya membuat kopi, hingga akhirnya seporsi kopi filter itu tersaji di depan kami, dan mas barista menyisakan sedikit sekali sisa cairan kopi itu untuk kemudian disesapnya sendiri. Laiknya chef di restoran yang menyicip masakannya sebelum disajikan secara paripurna untuk pelanggan. Gestur yang menarik.
Ikut kucicipi juga pesanan Bangjek itu. Dan wow, light sekali rasanya, nggak ada sedikit pun jejak rasa pait yang lazimnya ada pada sajian kopi tertinggal di sudut manapun di lidahku. Ini, kopi filter paling istimewa yang pernah kucicip.
Sesekali kami ngobrol dengan barista-barista yang sudah menyelesaikan seluruh pesanan dan duduk santai di balik meja bar. Tanya jawab basa-basi, sampai cerita ini itu ini itu, tentang sejarah singkat tempat itu berdiri, sampai ke fakta bahwa pemilik kedai kecil itu, Pak Raja namanya, rupanya roaster handal yang memang menggeluti bisnis kopinya dengan sangat serius lalu membuka kedai kopinya sendiri untuk berbagi kenikmatan kopi dengan lebih banyak orang. Sangat menarik.
Kuamati dengan seksama seluruh aktifitas toko kopi itu, dan berhasil menemukan banyak hal menarik. Mulai dari mesin grinder dan espresso yang nggak berhenti dioperasikan, ada atau nggak ada orderan yang masuk. Barista-baristanya terus memproduksi gelas demi gelas kopi, untuk mereka sesap sendiri, bertukar hasil karya satu sama lain untuk mengoreksi rasa. Mesin roasting kopi yang terus berputar, dengan Pak Raja yang sesekali datang untuk mengecek dengan seksama entah apanya aku tak paham. Berkarung-karung biji kopi dengan berbagai nama ditumpuk di hampir semua sudut kedai itu. Lalu mengamati seperti apa pemilik kedai berinteraksi dengan para pegawainya, sangat santai, seperti bukan penggaji dengan yang digaji, tapi lebih seperti teman satu komunitas penggemar kopi yang sedang berbagi ilmu. Sangat sangat menarik.
Tanpa terasa, aku sudah empat malam berturut-turut menyambangi tempat itu, dan masih dengan segelas kopi sejuk keempatku pula. Entahlah, tapi rasanya aku betah sekali duduk berjam-jam di meja bar itu, tanpa dikit-dikit main hape seperti yang biasa kulakukan ketika di cafe-cafe lain. Yang kulakukan cuma duduk, menyesap kopi susu, sambil mengamati barista-barista dan roaster-roaster yang lalu lalang, lalu sesekali mengajak mereka ngobrol ketika akhirnya ritme pekerjaanya mulai senggang. Berkenalan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya di hari keempat itu kami benar-benar bertukar nama dan cerita masing-masing.
Mas Benny, si frontman barista yang kupanggil Mas Ben, biar sama aja dengan tokoh barista fiksi yang dibikin Mbak Dee di novel Filosofi Kopi-nya. Jadi nggak cuma kedai Filkop yang punya Mas Ben, Amstirdam pun punya. Sayangnya nggak ada Jody di sana, adanya Mas Riski, barista junior yang kerja bareng Mas Ben. Menyenangkan berbagi obrolan dengan mereka, karena selalu menyenangkan berkenalan dengan teman-teman baru di tempat baru yang baru saja mulai kusenangi.
Beberapa jam kami asik dan ramai sendiri bertukar cerita dan candaan, aku, Hanan, dan Koko pun mulai menggali-gali cerita tentang Mas Ben dan kesukaannya dengan kopi. Mulailah Mas Ben bercerita, dan kami bertiga mendadak jadi seperti anak-anak kecil yang sedang asik sekali mendengarkan gurunya bercerita di depan kelas. Sesekali Mas Ben beranjak dari obrolan lalu membuat beberapa kopi filter dan espresso, lalu menaruhnya di depanku, menawariku untuk mengicip. Kaget banget waktu ngicip espressonya, itu adalah espresso pertama dalam hidupku yang nggak ada pahit-pahitnya sama sekali! Melihat ekspresiku, Mas Ben hanya tersenyum simpul lalu berujar, 'nggak pahit, kan?’ kemudian menjelaskan beberapa teori teknik membuat espresso seperti yang sudah ia jagoi.
From what we’ve heard and seen, we already know how hard they love coffee and really enjoy what they’ve been doing, making coffee, and let the customer love their work. Memang sangat menarik. Seperti menyaksikan sendiri secara nyata apa yang sudah Mbak Dee berusaha ceritakan dalam cerpen Filosofi Kopi-nya yang jadi favoritku itu.
Yang paling menarik dari semuanya sih, dan tentunya semua orang paling suka bagian ini: harga seporsi kopi yang sangat enak-enak itu, cuman 10.000 sampai 15.000! Di mana lagi bisa nemu kopi high class seenak itu dengan harga segitu, coy!
0 comments