Ulas Buku: Emakku Bukan Kartini (by Hasanudin Abdurakhman)
December 19, 2017Details: gramedia.com |
Buku ini berawal mula dari tulisan-tulisan si penulis di portal kompasiana yang kemudian dibukukan saking banyaknya yang suka sama ceritanya. Semua diceritakan berdasarkan pengalaman nyata penulis dengan menggunakan sudut pandangnya, dan berfokus pada tokoh Emak, ibunya. Menurutku, Emak sangat menginspirasi. Emak bahkan nggak pernah mengenyam pendidikan tinggi dengan layak, tapi pola pikirnya sangat maju, bisa dibilang jauh melampaui jaman, karena di waktu itu tidak banyak yang wanita yang bisa seperti Emak. Emak memperlihatkan bahwa konsep kesetaraan gender bukan melulu tentang gono-gini hak dan kewajiban pria dan wanita, tapi lebih ke bagaimana kedua pihak sama-sama mengerjakan apa yang memang menjadi tanggung jawabnya tanpa melupakan kodrat masing-masing dan kaidah agama yang sudah jelas aturannya tentang permasalahan tersebut. Tanpa perlu perdebatan, tanpa perlu pemaksaan, tanpa perlu banyak melontarkan keluhan, Emak melakukan semua kerja kerasnya dengan mengesampingkan lelah dan egonya sendiri, demi keluarga dan anak-anaknya. Emak sangat gigih memperjuangkan hak anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak, karena Emak ingin anak-anaknya kelak hidup sejahtera. Jaman sekarang mungkin itu pemikiran dan cita-cita yang umum, tapi di jaman dulu, apalagi di desa, pemikiran macam begitu sangat jarang bisa ditemui.
Dari awal baca judulnya udah tau sih bakal nangis pas baca isinya. Tapi ternyata alur ceritanya dari awal benar-benar enak buat diikutin, terutama bab-bab awal ketika penulis mengawali cerita tentang Emak melalui memori di masa kecilnya, bikin ikutan nostalgia dengan jaman kecilku dulu waktu masih hidup di desa. Masa kanak-kanak yang amat menyenangkan.
Makin belakang alur ceritanyanya makin cepet, tapi masih bisa terus diikutin sambil bayangin potongan-potongan adegannya. Terus tau-tau udah nyampe part Emaknya masuk rumah sakit. Tau-tau ceritanya udah nyampe bagian tersedih. Kalimat di akhir buku yang bunyinya, "Ini kenyataan paling pedih yang pernah kuhadapi dalam hidup. Emak sudah pergi, dan tidak akan pernah kembali. Mungkin kau pernah merasakan suasana itu ketika ibumu sendiri berpulang.", otomatis bikin air mata leleh dan langsung nangis sejadi-jadinya karena memori menyakitkan ketika Buk Eni berpulang langsung menyeruak tanpa jeda. Masih teringat jelas seperti apa rasa sakitnya waktu itu, seperti separuh jiwamu ikut tercabut paksa dari ragamu! Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja kamu mungkin nggak sanggup.
Allahumaghfirli wa liwaalidaiya warham humaa kamaa rabbayaani saghiira..
Baca buku ini juga melayangkan ingatanku pada Mak Nini, emakku sendiri, yang mengasuhku waktu kecil di desa dulu. Bukan ibu kandungku, tapi karena ia mengasuhku dari kecil, mungkin sejak umurku sekitar 3 atau 4 tahun, aku pun sudah dianggapnya seperti anak sendiri, anak kesayangan yang tiap kali datang berkunjung selalu ia peluk dan ciumi bahkan sampai aku sudah dewasa.
Perlakuan Emak dan Buk Eni emang sangat berbeda. Buk Eni yang sudah yatim piatu sejak muda punya pribadi yang sangat keras cenderung galak dan bawel, membuatku kadang nggak punya kesempatan buat bermanja-manja. Ya mungkin karena aku anak sulungnya Buk Eni, jadi itu caranya menempaku jadi anak yang bisa mandiri kelak ketika aku dewasa, sama seperti ia dulu ketika muda.
Sementara Emak, memperlakukanku seperti anak perempuan bungsunya, disayang-sayang, selalu diminta tidur sama Emak ketika aku datang menginap, selalu tanpa bosan mengulang-ulang cerita tentang Bunga kecil yang tingkahnya aneh-aneh dan membuatku geli sendiri jika teringat. Masa kecilku di desa juga jadi jauh lebih berwarna karena ketika Pak Bangun dan Buk Eni harus bekerja setiap harinya, sampai mereka pulang kerja aku dan Adam pun dititipkan di rumah Emak dan Bapak, suaminya, yang juga berprofesi sebagai petani. Waktu kecil aku suka ikut Emak berladang dan nyawah, membantu melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti memetik kacang panjang, mentimun, dan jagung yang cukup bisa membuatku girang. Akan lebih girang lagi ketika aku diijinkan Emak main di kali kecil dekat ladang Emak, yang letaknya juga tidak jauh dari pekarangan belakang rumahku. Aku juga suka menunggui Emak masak di dapurnya yang masih menggunakan tungku dan kayu bakar, bukan untuk ikut-ikutan masak sih, aku cuma suka memainkan kayu bakarnya dan mengamati arang yang menyala merah. Lalu aku juga suka melakukan tugas memberi makan kambing piaraan Emak tanpa disuruh, melihat mereka makan dedaunan langsung dari tanganku sungguh menyenangkan, suara yang mereka keluarkan ketika mengunyah batang pohon muda selalu mengasyikkan, kadang aku bisa berjam-jam nongkrong di kandang kambing hanya untuk menunggui mereka makan dan bermain dengan cempe-cempe yang menggemaskan. Di lain waktu, aku juga sering ikut Emak ketika bantu-bantu atau rewang di tetangga yang punya hajatan, aku suka duduk di sebelah Emak sambil membantu mengupas bawang atau sayur mayur, sambil kadang ikut comat-comot makanan yang baru matang sebelum dibawa ke luar dapur, dan ketika bosan aku biasanya berpindah ke sektor bapak-bapak yang sedang mengaduk jenang di wajan-wajan besar di bagian belakang dapur. Emak juga suka mengajakku ke Langgar (surau) untuk mendengarkan ceramah Pak Yai (Kyai), meskipun pada akhirnya aku hanya akan main-main di halaman dengan anak-anak kecil lainnya sampai Emak mengajak pulang. Sungguh menyenangkan kalau diingat-ingat lagi. Ketika aku sekeluarga pindah ke kota tetangga pun, setiap libur sekolah aku masih suka main ke rumah Emak, menengok Emak dan Bapak, menengok cempe-cempe Emak yang sudah tumbuh jadi kambing dewasa, dan tentunya main ke ladang dan sungai belakang rumah Emak yang terasa makin dangkal seiring tinggi badanku yang terus bertambah. Bahkan Emak akan selalu menanyakan ke orang-orang kalau aku dan Adam lama nggak muncul ke desa.
Sepeninggal Buk Eni, tiap ada kesempatan pulang kampung untuk ziarah makam, aku akan selalu mampir ke rumah Emak, untuk sekedar makan masakan Emak sekaligus menengoknya karena kondisi fisiknya yang makin menurun akibat usia yang makin sepuh. Sepeninggal Buk Eni, aku selalu merasa masih punya ibu lain, "setidaknya aku masih punya Emak", selalu begitu pikirku. Tapi rupanya takdir juga berkata lain ya. Emak juga udah berpulang, tahun lalu. Belum sempat Buk Eni dan Emak melihatku jadi sarjana, belum sempat pula aku pulang membawa buah tangan buat mereka hasil gaji pertamaku seperti yang kujanjikan dulu ketika kecil. Yang paling sedih sih, ketika kelak aku menikah, keduanya nggak ada yang bisa menemaniku.
Jadiiii, buku ini sangat menyenangkan untuk kubaca. Terlepas karena sosok Emak yang memang sangat inspiratif, ceritanya juga begitu 'ngena' dan terasa personal karena berangkat dari pengalaman hidup si penulis sendiri, dan tentunya karena berhasil membuatku ikut tersedot lorong waktu untuk kembali ke ingatan masa kecilku sendiri.
0 comments